BEEF CATTLE — Jakarta – Teknologi digital telah membawa kemajuan baru, salah satunya kehadiran Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Sejak awal kemunculannya, AI mampu menarik perhatian banyak orang karena kemampuannya. Seperti ChatGPT misalnya tiap minggu dipakai 400 juta pengguna.
Bukan hanya untuk membantu dalam mengerjakan tugas, AI saat ini juga dimanfaatkan sebagai teman mengobrol, bahkan curhat.
Apakah kamu termasuk orang yang hobi mengobrol dengan AI? Tenang, kamu bukan satu-satunya. Munculnya banyak model AI yang berfokus pada terapi mental menandakan adanya pasar yang besar.
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah: apakah AI memang bisa dijadikan seorang terapis? Apakah AI efektif menangani masalah kesehatan mental?
Beberapa AI berbentuk chatbot terapis mental sebenarnya muncul sebagai jawaban atas berbagai masalah layanan kesehatan ini. Wysa, misalnya, adalah sebuah AI yang berfokus pada kesehatan mental dan kini telah digunakan oleh lebih dari lima juta pengguna dari 30 negara.
Wysa didirikan dengan harapan dapat membantu mengisi kekosongan dalam perawatan mental. Ide pendirian aplikasi Wysa muncul pada tahun 2015, saat salah satu pendirinya, Jo Aggarwal, sedang berjuang dengan depresi yang dialaminya seperti mengutip Prevention.
Aggarwal mengatakan bahwa ia mengalami masalah yang sama seperti banyak orang lain, kesulitan mendapatkan terapis saat ia membutuhkan perawatan.
Kepala R&D Klinis Wysa, Chaitali Sinha, mengatakan bahwa ada banyak kesulitan dalam mengakses percakapan yang bermanfaat. Hal tersebut menjadi salah satu alasan untuk memanfaatkan teknologi demi mempermudah akses terhadap layanan kesehatan mental.
“Memanfaatkan teknologi sebagai pendorong untuk membuat layanan kesehatan mental lebih mudah diakses dengan cara yang menarik,” kata Sinha.
AI Kesehatan Mental Banyak Muncul
Serupa dengan Wysa, Youper juga hadir untuk menjawab berbagai permasalahan dalam mengakses layanan kesehatan mental.
Pendiri Youper, yang juga seorang psikiater, Jose Hamilton, menyebut bahwa Youper didirikan setelah ia melihat bagaimana stigma, biaya, dan antrean menjadi hambatan bagi pasien untuk mendapatkan perawatan.
“Sebagai seorang psikiater, salah satu hal yang sering saya dengar dari pasien saya adalah ‘butuh waktu bertahun-tahun bagiku untuk sampai di sini dan menemuimu’,” kata Hamilton.
Hamilton mengungkapkan bahwa ia merancang Youper sebagai asisten kesehatan mental dengan tujuan besar: agar perawatan kesehatan mental lebih mudah diakses oleh siapa saja.
Bagaimana Cara Kerja Terapis AI?
Berbeda dengan terapis manusia yang memiliki keterbatasan waktu, terapis AI dapat tersedia 24 jam setiap hari, sehingga bisa diakses kapan pun dibutuhkan. Selain itu, AI juga menawarkan perawatan yang jauh lebih murah dibandingkan dengan layanan kesehatan pada umumnya.
AI yang dapat diakses tanpa batas dan secara anonim ini membuat penggunanya tidak takut terhadap penghakiman atau stigma yang biasanya melekat pada penderita gangguan mental. Hal ini membuat AI sering dijadikan zona nyaman.
Karena berkaitan dengan kesehatan mental yang penting, chatbot AI ini tidak dirancang secara asal, melainkan melalui berbagai pertimbangan ilmiah oleh tim pengembangnya.
Pada Wysa, Sinha menyebut chatbot ini dirancang untuk memberikan berbagai alat bantu berbasis teknik psikologis yang telah terbukti secara ilmiah, seperti Terapi Perilaku Kognitif (CBT), melalui percakapan yang terstruktur. Dalam pelaksanaannya, Wysa menggunakan teknologi yang berasal dari algoritma berbasis aturan dan large language model (LLM).
Beberapa alat pelacak emosional yang disediakan oleh Wysa antara lain pelacak suasana hati, latihan meditasi dan mindfulness, serta jurnal rasa syukur. Semua respons yang diberikan Wysa kepada pengguna telah mendapatkan persetujuan dan diuji oleh para ahli klinis.
Begitu pula dengan Youper. Youper juga menggunakan teknologi yang menggabungkan LLM dengan terapi perilaku berbasis bukti, termasuk CBT, Acceptance and Commitment Therapy (ACT), dan Dialectical Behavior Therapy (DBT). Pendekatannya dilakukan melalui teknik jurnal rasa syukur, pelacak suasana hati, dan sebagainya.
Hamilton mengatakan bahwa respons yang diberikan oleh Youper memiliki batas-batas yang telah ditetapkan oleh manusia.
“Para ahli klinis merancang dan secara berkala memeriksa ulang semua prompt. AI hanya menyesuaikan cara penyampaian kata-kata secara langsung, tapi tetap dalam batas-batas yang sudah disetujui manusia,” jelas Hamilton.
Apakah Efektif Penggunaan AI sebagai Terapis Mental?
Berdasarkan penelitian, salah satu faktor yang paling berpengaruh dalam keberhasilan terapi mental adalah hubungan terapeutik antara terapis dan pasien. Maka muncul pertanyaan: apakah interaksi dengan bot tanpa wajah dan suara bisa efektif dalam merawat kesehatan mental?
Pada Maret 2025, para peneliti dari Dartmouth menerbitkan uji klinis pertama terkait penggunaan chatbot terapi berbasis AI, Therabot. Uji ini dilakukan secara acak terhadap 106 pengguna Therabot.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa AI ini berhasil memberikan perbaikan yang signifikan pada pasien dengan gejala gangguan depresi mayor, kecemasan, dan gangguan makan.
Meski terapi ini menunjukkan hasil yang menjanjikan, para peneliti menyimpulkan bahwa masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk benar-benar mengetahui efektivitas dari terapis AI.
Pada penelitian oleh peneliti dari Stanford University pada tahun 2021 terhadap sekitar 4.500 pengguna Youper, ditemukan bahwa dalam dua minggu awal penggunaan Youper, pengguna mengalami penurunan gejala cemas dan depresi yang cukup signifikan. Perbaikan ini bertahan hingga minggu keempat.
Kemudian, riset klinis independen pada tahun 2022 menemukan bahwa Wysa efektif membantu mengelola nyeri otot dan tulang kronis yang disertai depresi dan kecemasan. Temuan ini menjadikan Wysa sebagai breakthrough device oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) pada tahun 2022.
Belum Ada Bukti Benar-Benar Efektif
Berbagai temuan menyebut bahwa AI efektif dalam menangani masalah kesehatan mental, tapi studi tentang hal ini masih memiliki banyak keterbatasan.
Associate Professor bidang Filsafat di Center for Bioethics and Humanities, SUNY Upstate Medical University, Şerife Tekin, menyebut bahwa banyak studi dilakukan oleh perusahaan pembuat aplikasi tersebut, yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
“Nyatanya, bukti bahwa chatbot terapi AI ini benar-benar efektif masih sangat minim,” kata Tekin.
“Kita belum memiliki penelitian jangka panjang yang melibatkan orang-orang dengan diagnosis gangguan mental, yang tidak mendapatkan bantuan lain, lalu hanya menggunakan chatbot ini, dan benar-benar bisa dibuktikan bahwa mereka memperoleh manfaat dari intervensi seperti ini,” tambah Tekin.